Rabu, 11 November 2015

Vidia Oktabellasari                 ( A1B113054 )
Khairun Nisa                           ( A1B113214 )
Lutfia Safitri                           ( A1B113221 )
Dian Anggraini                       ( A1B113226 )
 Ruth Cahyaningratri               ( A1B113230 )

TUGAS          :
            Berikan contoh reduplikasi dalam bahasa Banjar sebanyak 5 berdasarkan hasil pengulangannya!

JAWAB         :
1.      Kata Ulang Utuh
-          Latik-latik
-          Jihing-jihing
-          Tinjak-tinjak
-          Tapak-tapak
-          Hanyar-hanyar

2.      Kata Ulang Berubah Bunyi
-           Bulang-bulik
-           Gadabak-gadabuk
-           Garusak-garusuk
-           Manggaripak-manggaripuk
-           Cutak-atik
-           
3.      Kata Ulang Sebagian
-          Sababat
-          Sagampir
-          Sajumput
-          Sajurut
-          Sacuntang

4.      Kata Ulang Berimbuhan
-          Inca-incaan
-          Hambat-hambatan
-          Bakiwir-kiwiran
-          Begamat-gamat
-          Tapaluh-paluh

5.      Kata Ulang Semu
-          Hati-hati
-          Paru-paru
-          Mata-mata
-          Agar-agar

-          Biri-biri

Rabu, 04 November 2015

Afiks kelompok 4




Nama   : Vidia Oktabelasari
Nim     : A1B113054

IKASBA Tampilkan Teater Patih Ampat
Rabu, 4 November 2015 16:23
bapandung-banjar_20151104_162336.jpg

BANJARMASINPOST.CO.ID, BANJARMASIN - Masih dalam rangkaian sumpah pemuda sekaligus memeringati hari pahlawan, KNPI Kalsel menggelar festival budaya. Bekerjasama dengan IKASBA (Ikatan Alumni Sanggar Bahana Antasari).
Gelaran berupa festival bapandung dan pentas teater mamanda Patih Ampat, yakni tokoh laki-laki sakti yang memiliki empat anak dari empat binatang berbeda.
Anak yang lahir dari induk singa, macan, kijang dan pelanduk itu bukan anak binatang namun anak manusia. Awal cerita, laki-laki sakti ini kencing di semak belukar, tapi bukan air kencing yang keluar, tapi air mani.
Rerumputan ini yang dimakan empat binatang, yang akhirnya mengandung anak laki-laki sakti. Ingin tau lebih ceritanya?
Akan ditampilkan di Balairung Sari, Taman Budaya, pada 6 hingga 8 November. Dijelaskan Wakil Ketua DPD KNPI Kalsel, Hafizh, acara digelar dalam rangka peringatan hari sumpah pemuda dan hari pahlawan.
"DPD KNPI, bekerjasama dengan IKASBA Kalsel menggarap agenda budaya tersebut," katanya.


No

Afiks

Kata

Makna

Keterangan
1
Konfiks/Imbuhan serentak
Memeringati
Mengadakan suatu kegiatan (seperti pe-rayaan, selamatan) untuk mengenangkan atau memuliakan suatu peristiwa
Awalan dan akhiran
2
prefiks
Menggelar
Menghamparkan, membentangkan
Awalan
3
Prefiks
Memiliki
Mempunyai
Awalan
4
Prefiks
Belukar
Tumbuhan kayu-kayuan kecil dan rendah
Awalan
5
Konfiks
Rerumputan
Rumput yang tumbuh tidak teratur di sana-sini

Awalan dan akhiran
6
Prefiks
Dimakan
Dimusnahkan, dirusakkan, dihabiskan
Awalan
7
Konfiks
Ditampilkan
Dipertunjukan, dikemukakan
Awalan dan akhiran
8
Konfiks
Dijelaskan
Diterangkan, diuraikan secara terang
Awalan dan akhiran
9
Prefiks
Digelar
dihamparkan
Awalan
10
Prefiks
Menggarap
mengerjakan
Awalan


Nama : Ruth Cahyaningratri
NIM    : A1B113230

Sepasang Mata Dinaya yang Terpenjara

http://cerpenkompas.files.wordpress.com/2010/05/sepasang_mata_dinaya_yang_terpenjara-ghost.jpg?w=150
Dewa Made Dinaya sudah menduga di mana ia akan berakhir. Di tempat ini dengan posisi seperti ini.
Inilah alasan mengapa Dinaya dulu selalu menolak untuk meneruskan sekolahnya. Betapapun ia menyukai ilmu yang serasa melambungkannya ke cakrawala dunia, ia tahu semua itu akan sia-sia belaka. Ketika kedua orangtuanya memintanya untuk meneruskan kuliahnya, Dinaya menolak mentah-mentah anjuran itu.
Dinaya merasa tidak penting baginya untuk melanjutkan kuliah. Perkuliahan akan membuka pikirannya dan membuatnya mengembara ke tempat-tempat yang jauh. Buat apa? Toh pada akhirnya ia akan kembali ke tempat di mana ia berasal. Di sini, dengan posisi seperti ini.
Dinaya menyeka peluh yang membasahi pipinya. Tubuhnya sudah terasa begitu lengket. Kedua kakinya pegal luar biasa. Mukanya tentu saja terlihat sangat berantakan. Dinaya tidak ingat lagi berapa banyak pekerjaan yang sudah dikerjakannya sejak subuh tadi. Begitu satu pekerjaan selesai, pekerjaan lainnya menunggu. Begitu seterusnya seolah tidak ada habisnya.
Dinaya belum sempat mendudukkan pantatnya barang sejenak pun sejak tadi pagi. Pekerjaan dapur dan tetek bengek rumah tangga ini seolah memutarnya seperti gasing yang tidak tahu kapan akan berhenti.
Suaminya, Gusti Nyoman Ghana, tampaknya baru bangun. Dinaya mendengar suara gayung menciduk air di kamar mandi. Ghana pasti sedang bersiap-siap untuk berangkat kerja. Sebentar lagi, ia akan mengenakan seragam coklatnya dan berangkat ke Denpasar.
Gusti Nyoman seorang pegawai negeri. Pekerjaan yang selalu membuat suaminya itu bisa membusungkan dada dan menegakkan bahu. Sebaliknya bagi Dinaya, pekerjaan tidak lebih hanya kulit. Yang penting adalah bagaimana orang itu menjalankan pekerjaannya.
Satu hal yang tidak dimengerti Dinaya adalah suaminya tidak pernah betul-betul mengajaknya bicara. Ghana memang sering berkata-kata, namun kata-kata itu hanya membutuhkan pendengar, bukan lawan bicara. Ghana lebih sering terlihat seperti bermonolog, berbicara dan kemudian memberikan komentar sendiri atas pembicaraannya. Di manakah posisi Dinaya pada saat itu, mungkin ia hanya menjadi cermin yang memantulkan bayangan suaminya.
Ghana juga sering terlihat terlalu sibuk dengan kegemarannya sendiri. Ghana betah seharian dengan permainan play station-nya dan tidak memedulikan apa pun. Secangkir kopi dan sepiring pisang goreng selalu menemaninya mengerjakan kegemarannya itu. Apakah laki-laki ini betul-betul membutuhkan seorang istri?
Dinaya tidak ingat kapan terakhir ia betul-betul bicara dengan suaminya. Apakah Ghana mewakili kemiripan sifat yang dimiliki oleh sebagian besar orang di kampung mereka? Lebih suka menutup mulutnya rapat-rapat dan pelit mengucapkan kata-kata. Bukankah bicara bisa memekarkan pikiranmu?
Ah sudahlah, tidak ada gunanya ia mengeluh tentang laki-laki yang sudah dipilihnya itu. Laki-laki yang dipilihkan Biyang untuknya dan Dinaya menerimanya ketika ia merasa putus asa untuk menemukan seorang kekasih pada saat batang usianya semakin tinggi. Pernikahan ini mungkin hanya menjadi tempat berlindung baginya karena ia takut disebut perawan tua. Dulu, Dinaya tidak pernah mencintai Ghana. Ternyata makin hari ia makin membenci laki-laki itu. Masih layakkah apa yang sedang dijalaninya ini disebut sebagai sebuah pernikahan?
Dinaya menyesal tidak pernah memberi ruang pada perasaannya sendiri. Seharusnya ia biarkan perasaan itu memilih laki-laki yang akan menjadi pendamping hidupnya. Perasaan cinta ternyata hanya tumbuh sekali dalam hidupnya. Cinta itu untuk teman kuliahnya di Malang. Seorang laki-laki Jawa. Cinta itu terpaksa ia telan bulat-bulat ke dalam kerongkongan dan membiarkannya tersekap di ruang sempit di dalam ususnya.
Biyang dan Aji tidak pernah bisa menerima laki-laki Jawa menjadi suami Dinaya. Mereka tidak dapat menerima segala kerumitan yang mungkin terjadi bila ia menikahi orang yang begitu berbeda latar belakangnya. Ratusan pertanyaan pun bermunculan di benak mereka dan jawaban dari ratusan pertanyaan itu adalah tidak mungkin, tidak mungkin, dan tidak mungkin sebanyak seratus kali. Dinaya seolah dibenturkan dengan dinding yang mahatebal.
Namun, di balik itu, bagi Dinaya, kedua orangtuanya selalu memiliki sikap yang mendua. Mereka begitu terobsesi menambahkan huruf SH di belakang namanya seperti anak kecil yang begitu menginginkan mainan kegemarannya. Biyang dan Aji terus mendorongnya rajin belajar dan meraih gelar sarjana hukum. Waktu itu, Dinaya mengira kedua orangtuanya memang sungguh-sungguh berharap ia akan menjadi perempuan yang intelek. Kini ia tahu, apa yang Biyang dan Aji lakukan tidak semata-mata demi gengsi bahwa anak-anak mereka adalah orang yang berpendidikan. Mereka sendiri tidak siap menerima anak-anaknya yang berubah karena pendidikan yang telah mereka pelajari.
Biyang dan Aji sangat menginginkan gelar itu di belakang nama Dinaya, namun mereka tidak ingin ia lebih pintar dari yang mereka kenal dahulu. Dinaya yang masih bocah dan mengenakan seragam sekolah dasarnya. Pada saat itu Biyang dan Aji sering memarahinya karena belum bisa menulis dan membaca. Mereka selalu mengenang Dinaya sebagai anak mereka yang itu. Tidakkah mereka tahu bahwa pengetahuannya sudah jauh melesat ke angkasa? Apakah gelar dapat dipisahkan dengan ilmu yang dimilikinya?
Tepat seperti dugaannya. Dinaya hanya bisa pasrah ketika keluarganya menuntut ia membuang semua ilmu yang dimilikinya ke tempat sampah. Kesarjanaan itu kata mereka hanya membuat Dinaya menjadi perempuan yang tinggi hati. Ia direnggut dari tempat yang dicintainya dan dipaksa menempati ruang sempit yang ia rasakan bagaikan penjara. Di sinilah segala kekuatannya dilucuti sehingga segala bentuk pikiran yang pernah dimilikinya dipaksa hanya bisa meringkuk di sudut.
Dinaya tahu bahwa suatu saat pikiran itu akan sekarat dan tewas. Dan semua orang di sekelilingnya malah bersorak dengan segala derita yang dialaminya. Seolah-olah Dinaya bukan seorang anak manusia. Dinaya selalu ingin bertanya-tanya dalam hati mengapa laki-laki selalu mendapat pembelaan yang berlebih-lebih?
”Suamimu memintamu untuk berhenti bekerja, Dinaya. Dia bilang begitu pada Biyang.”
”Kenapa dia tidak bicara langsung pada tiang? Bukankah dia masih punya mulut.”
”Dia takut kamu menjadi marah karena ia tahu kamu perempuan yang keras.”
”Apakah dia memang seorang laki-laki?”
”Kenapa kamu mengatai-ngatai suamimu sendiri?”
”Suami pilihan Biyang tepatnya.”
”Kenapa kamu masih saja suka membangkang seperti dulu. Apa umur belum juga mendewasakanmu?”
Menurut tiang Biyang-lah yang belum dewasa di umur Biyang yang sekarang. Tiang amat mencintai pekerjaan tiang sebagai dosen. Mengapa tiang harus berhenti? Bukankah tiang bisa membantunya secara ekonomi?”
”Suamimu merasa kau lebih mencintai pekerjaanmu daripada dirinya. Dia cemburu pada pekerjaanmu.
”Laki-laki kurang kerjaan.”
”Belajarlah menghargai suamimu!”
”Bli Gusti yang tidak pernah menghargaiku sebagai perempuan. Mengapa aku tidak boleh mengembarakan pikiranku? Apa yang dia inginkan dari aku?”
”Dia ingin kamu lebih banyak di rumah untuk menemaninya, bukannya sibuk dengan urusanmu di kampus. Lagi pula pekerjaan rumah jadi terbengkalai. Urusan mebanten saja harus minta tolong orang lain. Bukankah seorang istri yang seharusnya mengerjakan semua itu?”
Dinaya hanya mendesah panjang. Ia sama sekali tidak setuju dengan kalimat terakhir Biyang. Sebuah keluarga yang harus mengerjakan semuanya. Sebuah keluarga terdiri dari istri dan suami. Mengapa semua orang tidak pernah berubah? Apakah ketika seorang perempuan dilahirkan ke dunia ia telah terlahir sebagai manusia atau hanya sebuah barang yang kebetulan bernyawa?
”Bagaimana kalau tiang menolak?”
”Biyang dan seluruh keluarga tidak akan menjadi keluargamu lagi. Biyang tidak mau anak Biyang menjadi tinggi hati karena pendidikannya.”
”Bukankah Biyang adalah keluarga tiang. Mengapa Biyang malah membela Bli Gusti?”
”Karena kamu sudah menyimpang dari kewajibanmu sebagai istri.”
Dinaya meradang. Namun ditekannya kuat-kuat segala amarah jauh di dasar hatinya. Bahkan untuk marah saja Dinaya tahu ia tidak memiliki tempat. Biyang yang dikenalnya sejak bocah tidak pernah berubah. Seorang ibu yang terus-menerus mengkritik anak perempuannya. Dinaya selalu merasa menjadi anak yang penuh kesalahan di hadapan Biyang.
Sejak kecil Biyang selalu mengata-ngatai Dinaya dengan kata-kata yang menghancurkan harga dirinya. Perempuan kok bangun siang. Makan kok belepotan seperti babi. Itu badan apa gentong air. Mana ada sih laki-laki yang mau melihat tampangmu. Sekali-kali ke salon dong biar tidak dikira babu. Di hadapan Biyang, Dinaya merasa menjadi manusia yang paling gagal.
Dinaya tahu ini bukan kesalahan Biyang semata-mata. Barangkali seluruh cakrawala pikiran Biyang dipenuhi oleh kepercayaan bahwa sumber kebahagiaan perempuan adalah apabila ia memuaskan kebutuhan laki-laki. Biyang tidak ingin putrinya gagal memenuhi kewajiban itu. Mungkin itulah satu-satunya yang dimengerti Biyang mengenai peranan perempuan. Karena Biyang juga pernah merasakan semua yang Dinaya rasakan.
Bukankah Biyang lahir dan dibesarkan dengan luka batin yang sama di lubuk hatinya? Sebagai perempuan ia selalu dipandang sebagai barang, sebagai obyek. Yang menjadi berharga sejauh mana ia bisa memuaskan laki-laki. Hanya saja Biyang tidak pernah menyadarinya. Ia terus saja menuntut Dinaya untuk mengamini nilai-nilai yang dipercaya oleh Biyang. Hanya saja bagi Dinaya, ia tidak sudi mengamini nilai-nilai itu. Sebagai manusia ia merasa berhak diperlakukan sama dengan laki-laki.
”Baiklah tiang menuruti Biyang sekarang, tapi bukan karena tiang merasa Biyang benar. Tiang akan berhenti bekerja, tapi jangan harap tiang akan menghormati Bli Gusti. Pernikahan ini memang masih ada, tapi bagi tiang ini bukan pernikahan tiang. Tiang sudah mati dalam pernikahan ini. Yang tinggal hanya raga tiang.”
Wajah Biyang terlihat memerah. Dengusan napasnya terdengar sangat keras. Dinaya hanya memandangnya dengan mata tenang. Dinaya tahu hanya ketenangannya yang membuat ia menjadi pemenang.
Hari-hari berikutnya Dinaya memusatkan perhatiannya pada setumpuk pekerjaan rumah tangga yang harus dikerjakannya. Dinaya bangun subuh dan mulai menyiapkan masakan di dapur dan menyapu halaman rumah yang penuh dengan dedaunan layu. Tepat jam tujuh pagi ia menyiapkan kopi untuk suaminya. Ghana terlihat menyeruput kopinya dengan begitu nikmat. Tidak pernah ada senyum atau sapa yang diperlihatkan Dinaya untuk suaminya, namun Ghana kelihatannya tenang-tenang saja. Dia sibuk mengoceh mengenai pekerjaannya sendiri. Dinaya semakin sadar, bagi suaminya ia bukanlah seorang istri, namun tak lebih dari perhiasan rumahnya saja. Perempuan yang akan mengabulkan seluruh mimpi-mimpinya akan kesempurnaan dan kekuasaan sebagai laki-laki.
Dinaya selalu mengingat dirinya dengan posisi yang sama. Ia dengan mata kosong memandang ke luar dari jendela dapur. Ia merasa terkurung dalam penjara yang disediakan untuk perempuan. Seolah dapur menjadi satu-satunya takdir bagi perempuan sekalipun memasak bukan kegemarannya. Bukankah di luar sana ada begitu banyak macam warna-warni dunia yang bisa dicoba oleh perempuan.
Namun ia dipaksa berada di tempat yang tidak diinginkannya. Dan ia pun harus menyediakan waktunya dari subuh hingga malam hari untuk mengosongkan seluruh energi yang dimilikinya. Semua pekerjaan yang tiada habisnya itu akan menghampakan dia sehingga tidak akan pernah ada ruang untuk berpikir. Mungkinkah dunia begitu takut pada pikiran perempuan? Betulkah pikiran perempuan akan menjelma bom waktu yang akan meledakkan dunia.




No

Afiks
Kata
Makna
Keterangan

1
Prefiks
Berakhir
Telah selesai
Kalimat pertama, paragraf pertama

2
Simulfiks
meneruskan
Ingin melanjutkan
Kalimat pertama, paragraf kedua

3
Prefiks
menyukai
Suka
Kalimat kedua, paragraf kedua

4
Simulfiks
Melambungkan
Melayang-layang
Kalimat kedua, paragraf kedua

5
Prefiks
Menolak
Tidak terima
Kalimat keempat, paragraf kedua

6
Prefiks
Merasa
Sedang merasakan
Kalimat pertama, paragraf ketiga

7
Simulfiks
Melanjutkan
Sedang berlangsung
Kalimat pertama, paragraf ketiga

8
Simulfiks
Perkuliahan
Kuliah
Kalimat pertama, paragraf ketiga

9
Simulfiks
Membuka
Terbuka
Kalimat kedua, paragraf ketiga

10
Simulfiks
Membuat
Melakukan
Kalimat kedua, paragraf ketiga

11
Simulfiks
Membasahi
Mengandung air
Kalimat pertama, paragraf keempat

12
Konfiks
Pekerjaan
Melakukan sesuatu
Kalimat ketiga , paragraf keempat

13
Konfiks
Dikerjakaannya
Melakukan sesuatu
Kalimat keempat, paragraf keempat

14
Simulfiks
Menunggu
Mengharapkan sesuatu
Kalimat keempat, paragraf keempat

15
Prefiks
Seterusnya
Berlangsung
Kalimat keempat, paragraf keempat

16
Prefiks
Seolah
Perbuatan
Kalimat keempat, paragraf keempat

17
Simulfiks
Mendudukan
Meletakkan tubuh
Kalimat keempat, paragraf keempat

18
Simulfiks
Memutarnya
Berkeliling-keliling
Kalimat keempat, paragraf keempat

19
Simulfiks
Menegakkan
Sigap
Kalimat kesatu, paragraf keenam

20
Prefiks
Sebaliknya
Sisi
Kalimat kedua, paragraf keenam

21
Simulfiks
Menjalankan
Tempat untu berlintas
Kalimat keempat, paragraf keenam

22
Konfiks
Dimengerti
Mamahami sesutu
Kalimat pertama, paragraf ketujuh

23
Prefiks
Mengajaknya
Meminta/menyuruh
Kalimat pertama, paragraf ketujuh

24
Prefiks
Pendengar
pendapat
Kalimat kedua, paragraf ketujuh

25
Prefiks
Bermonolog
Pembicaraan dilakuakn dengan diri sendiri
Kalimat ketiga, paragraf ketujuh

26
Prefiks
Berbicara
Perundingan
Kalimat ketiga, paragrraf ketujuh

27
Simulfiks
Memberikan
Menyampaikan
Kalimat ketiga, paragraf ketujuh

28
Prefiks
Pembicaraannya
Perundingan
Kalimat ketiga, paragraf ketujuh

29
Simufiks
Menjadi
Langsung berlaku
Kalimat keempat, paragraf ketujuh

30
Prefiks
Terlihat
Memandang
Kalimat pertama, paragraf kedelapan

31
Prefiks
Terlalu
Berjalan lewat
Kalimat pertama, paragraf kedelapan

32
Prefiks
Seharian
Waktu
Kalimat kedua, paragraf kedelapan

33
Prefiks
Permainan
Bersenang-senang melakukan perbuatan
Kalimat kedua, paragraf kedelapan

34
Simulfiks
Memedulikan
Mengindahkan
Kalimat kedua, paragraf kedelapan

35
Prefiks
Secangkir
Mangkuk kecil yang bertelinga
Kalimat ketiga, paragraf kedelapan

36
Prefiks
Sepiring
Wadah
Kalimat ketiga, paragraf kedelapan

37
Simulfiks
Membutuhkan
Memerlukan
Kalimat keempat, paragraf kedelapan

38
Prefiks
Seorang
Manusia
Kalimat keempat, paragraf kedelapan

39
Sufiks
Mewakili
Orang yang menggantikan
Kalimat ketujuh, paragraf kedelapan

40
Sufiks
Diwakili
Orang yang menggantikan
Kalimat ketujuh, paragraf kedelapan

41
Prefiks
Sebagian
Persamaan/perbandingan
Kalimat ketujuh, paragraf kedelaan

42
Simulfiks
Mengucapkan
Kata
Kalimat ketujuh, paagraf kedelapan
43
Simulfiks
Memekarkan
Berkembang menjadi terbuka
Kalimat kedelapan, paragraf kedelapan
44
Simulfiks
Mengeluh
Ungkapan perasaan susah
Kalimat pertama, paragraf kesembilan
45
Konfiks
Dipilihnya
Mempertimbangkan
Kaliamat pertama, paragraf kesembilan
46
Konfiks
Dipilihkan
Mempertimbangkan
Kalimat kedua, paragraf kesembilan
47
Prefiks
Menerima
Mendapat
Kalimat kedua, paragraf kesembilan
48
Prefiks
Merasa
Tanggapan indra rangsangan saraf
Kalimat kedua, paragraf kesembilan
49
Prefiks
Menemukan
Jumpa
Kalimat kedua, paragraf kesembilan
50
Prefiks
Semakin
Bertambah
Kalimat kedua, paragraf kesembilan
51
Prefiks
Pernikahan
Perkawinan yang dilakukan sesuai ketentuan umum
Kalimat ketiga, paragraf kesembilan
52
Prefiks
Berlindung
Tidak terlihat
Kalimat ketiga, paragraf kesembilan
53
Konfiks
Disebut
Memberi/ menyatakan sesuatu
Kalimat ketiga, paragraf kesembilan
54
Sufiks
Mencintai
Suka sekali
Kalimat keempat, paragraf kesembilan
55
Prefiks
Ternyata
Jelas sekali
Kalimat kelima, paragraf kesembilan
56
Simulfiks
Membenci
Sanngat tidak suka
Kalimat kelima, paragaf kesembilan
57
Konfiks
Dijalaninya
Tempat berlintas
Kalimat kelima, paragraf kesembilan
58
Prefiks
Pernikahan
Perkawinan yang dilakukan secara hukum
Kalimat kelima, paragraf kesembilan
59
Simulfiks
Menyesal
Peraaan tidak senang
Kalimat pertama, paragraf kesepuluh
60
Simulfiks
Memberi
Menjadikan supaya tahu
Kalimat pertama, paragraf kesepuluh
61
Prefiks
Perasaannya
Tanggapan indra saraf
Kalimat pertama, paragraf kesepuluh
62
Prefiks
Terpaksa
Mengerjakan sesutru diharuskan walaupun tidak mau
Kalimat keempat, paragraf kesepuluh
63
Prefiks
Tersekap
Menaruh ditempat tertutup
Kalimat keempat, paragraf kesepuluh
64
Prefiks
Terjadi
Langsung berlaku
Kalimat kedua, paragraf kesebelas
65
Sufiks
Menikahi
Perkawinan yang dilakukan secara hukum
Kalimat kedua, paragraf kesebelas
66
Prefiks
Berbeda
Tidak sama
Kalimat kedua, paragraf kesebelas
67
Prefiks
Pertanyaan
Telihat
Kalimat ketiga, paragraf kesebelas
68
Prefiks
Sebanyak
Besar jumlahnya
Kalimat ketiga paragraf kesebelas
69
Konfiks
Dibenturkan
Luka
Kalimat keempat paragraf kesebelas
70
Prefiks
Mendua
Sesudah ppertama
Kalimat pertama, paragraf kesebelas
71
Prefiks
Terobsesi
Pikiran
Kalimat kedua, paragraf kesebelas
72
Prefiks
Menambahkan
Dibubuhkan
Kalimat kedua, paragraf kesebelas
73
Prefiks
Menginginkan
Mau
Kalimat kedua, paragraf kesebelas
74
Prefiks
Mendorongnya
Menolak bagian belakang
Kalimat ketiga, paragraf kesebelas
75
Prefiks
Meraih
Capai
Kalimat ketiga, paragraf kesebelas
76
Prefiks
Mengira
Pendapat
Kalimat keempat, paragraf kesebelas
77
Prefiks
Berharap
Mohon
Kalimat keempat, paragraf kesebelas
78
Prefiks
Mengenang
Ingat
Kalimat keempat , paragraf kesebelas
79
Konfiks
Dipisahkan
Cerai
Kalimat kelima, paragraf kesebelas
80
Simulfiks
Menuntut
Meminta
Kalimat kedua, paragraf keduabelas
81
Simulfiks
Membuang
Lepaskan keluar
Kalimat kedua, paragraf keduabelas
82
Konfiks
Direnggut
Ambil
Kalimat ketiga, paragraf keduabelas
83
Konfiks
Dicintainya
Perasaan
Kalimat ketiga, paragraf keduabelas
84
Konfiks
Dipaksa
Mengerjakan sesutu
Kalimat ketiga, paragraf keduabelas
85
Sufiks
Menempati
Sesutu yang dipakai untuk menaruh
Kalimat ketiga, paragraf keduabelas
86
Simulfiks
Mendapat
Raih
Kalimat keempat, paragraf ketigabelas
87
Simulfiks
Memintamu
Mohon
Kalimat pertama, paragraf ke empatbelas
88
Simulfiks
Mendewasakanmu
Sampai umur
Kalimat kelima, paragraf keempatbelas
89
Sufiks
Mengatai
Unsur bahasa
Kalimat ketujuh, paragraf keempatbelas
90
Simulfiks
Menurut
Bersama di dalam
Kalimat kedelapan, paragraf keempatbelas

91
Prefiks
Berhenti
Keadaan tanpa gerak
Kalimat kesembilan, paragraf keempatbelas

92
Simulfiks
Membantunya
Tolong
Kalimat kesembilan, paragraf keempatbelas

93
Prefiks
Menghargai
Nilai
Kalimat keduabelas, paragraf keempatbelas

94
Simulfiks
Menemaninya
Kawan
Kalimat ke tigabelas, paragraf keempatbelas

95
Prefiks
Mengerjakan
Melakukan sesutu
Kalimat kesatu, paragraf kelimabelas

96
Simulfiks
Mendesah
Bunyi
Kalimat ke dua, paragraf ke limabelas

97
Prefiks
Terakhir
Belakang
Kalimat keketiga, paragraf kelimabelas

98
Konfiks
Dilahirkan
Keluar
Kalimat keempat, paragraf kelimabelas

99
Prefiks
Terlahir
Keluar
Kalimat keempat, paragraf kelimabelas

100
Prefiks
Bernyawa
Hidup
Kalimat keempat, paragraf kelimabelas

101
Simulfiks
Menolak
Tidak terima
Kalimat kesatu, paragraf keenambelas

102
Simuklfiks
Mengapa
Kata tanya
Kalimat ke 1 paragraf keenambelas

103
Simulfiks
Membela
Menjaga
Kalimat ketiga, paragraf keenambelas

104
Simulfiks
Meradang
Marah sekali
Kalimat ketiga , paragraf ketujuh belas

105
Konfiks
Dikenalnya
Mempunyai rasa
Kalimat ketiga, paragraf ketujuhbelas

106
Prefiks
Berubah
Menjadi lain
Kalimat ke kedua, paragraf kedelapan belas

107
Prefiks
Mengkritik
Tanggapan
Kalimat ketiga , paragraf kedelapan belas

108
Prefiks
Menghancurkan
Remuk
Kalimat pertama, paragraf kedelapan belas

109
Prefiks
Merasa
Perasaan indra saraf
Kalimat kelima, paragraf kedelapanbelas

110
Konfiks
Dibesarkan
Lebih dari ukuran sedang
Kalimat pertama, paragraf keembilanbelas

111
Konfiks
Dipandang
Penglihatan
Kalimat pertama, paragraf kesembilanbelas

112
Prefiks
Menjadi
Langsung berlaku
Kalimat pertama, paragraf kesembilanbelas

113
Prefiks
Berharga
Nilai
Kalimat kedua paragraf kesembilan belas

114
Prefiks
Sejauh
Panjang antara
Paragraf kedua, paragraf kesembilan belas

115
Simulfiks
Memuaskan
Merasa senang
kalimat kedua, paragraf kesembilan belas

116
Prefiks
Menyadarinya
Merasa tahu
Kalimat ketiga, paragraf kesembilan belas

117
Prefiks
Sejauh
Panjang antaranya
Kalimat ke kedua, paragraf kesembilanbelas

118
Konfiks
Dipercaya
Mengakui
Kalimat ketiga, paragraf kesembilanbelas

119
Konfiks
Diperlukan
Membutuhkan
Kalimat keempat, paragraf kesembilan belas

120
Prefiks
Berhak
Kekuasaan
Kalimat keempat, paragraf kesembilan belas

121
Prefiks
Memerah
Warna
Kalimat kesatu, paragraf kedua puluh satu

122
Prefiks
Terdengar
Indra saraf
Kaliamat pertama, paragraf kedua puluh satu

123
Prefiks
Memandangnya
Penglihatan
Kalimat kedua, paragraf kedua puluh satu

124
Prefiks
Pemenang
Mengalahkan musuh
Kalimat kalimat ketiga, paragraf kedua satu

125
Simulfiks
Menyiapkan
Sudah disediakan
Kalimat pertama, paragraf kedua puluh dua

126
Prefiks
Mengingat
Tidak lupa
Kalimat pertama, paragraf kedua puluh satu

127
Konfiks
Disediakan
Siap
Kalimat pertama, paragraf kedua puluh tiga

128
Prefiks
Mengosongkan
Tidak berisi
Kalimat ke dua, paragraf ke dua puluh empat

129
Prefiks
Berpikir
Akal budi/ ingatan
Kalimat kedua, paragraf kedua puluh empat

130
prefiks
Meledakkan
Pecah mengeluarkan bunyi sangat keras
Kalimat keempat, paragraf kedua puluh empat