Nama : Vidia
Oktabelasari
Nim :
A1B113054
IKASBA Tampilkan Teater Patih Ampat
Rabu,
4 November 2015 16:23
BANJARMASINPOST.CO.ID,
BANJARMASIN - Masih dalam rangkaian sumpah pemuda sekaligus memeringati hari pahlawan,
KNPI Kalsel menggelar festival budaya. Bekerjasama dengan IKASBA (Ikatan Alumni
Sanggar Bahana Antasari).
Gelaran berupa
festival bapandung dan pentas teater mamanda Patih Ampat, yakni tokoh
laki-laki sakti yang memiliki empat anak dari empat binatang berbeda.
Anak yang lahir
dari induk singa, macan, kijang dan pelanduk itu bukan anak binatang namun anak
manusia. Awal cerita, laki-laki sakti ini kencing di semak belukar, tapi bukan
air kencing yang keluar, tapi air mani.
Rerumputan ini
yang dimakan empat binatang, yang akhirnya mengandung anak laki-laki sakti.
Ingin tau lebih ceritanya?
Akan
ditampilkan di Balairung Sari, Taman Budaya, pada 6 hingga 8 November.
Dijelaskan Wakil Ketua DPD KNPI Kalsel, Hafizh, acara digelar dalam rangka
peringatan hari sumpah pemuda dan hari pahlawan.
"DPD KNPI,
bekerjasama dengan IKASBA Kalsel menggarap agenda budaya tersebut,"
katanya.
No
|
Afiks
|
Kata
|
Makna
|
Keterangan
|
1
|
Konfiks/Imbuhan
serentak
|
Memeringati
|
Mengadakan
suatu kegiatan (seperti pe-rayaan, selamatan) untuk mengenangkan atau
memuliakan suatu peristiwa
|
Awalan
dan akhiran
|
2
|
prefiks
|
Menggelar
|
Menghamparkan,
membentangkan
|
Awalan
|
3
|
Prefiks
|
Memiliki
|
Mempunyai
|
Awalan
|
4
|
Prefiks
|
Belukar
|
Tumbuhan
kayu-kayuan kecil dan rendah
|
Awalan
|
5
|
Konfiks
|
Rerumputan
|
Rumput yang tumbuh tidak teratur
di sana-sini
|
Awalan
dan akhiran
|
6
|
Prefiks
|
Dimakan
|
Dimusnahkan,
dirusakkan, dihabiskan
|
Awalan
|
7
|
Konfiks
|
Ditampilkan
|
Dipertunjukan,
dikemukakan
|
Awalan
dan akhiran
|
8
|
Konfiks
|
Dijelaskan
|
Diterangkan,
diuraikan secara terang
|
Awalan
dan akhiran
|
9
|
Prefiks
|
Digelar
|
dihamparkan
|
Awalan
|
10
|
Prefiks
|
Menggarap
|
mengerjakan
|
Awalan
|
Nama : Ruth Cahyaningratri
NIM : A1B113230
Sepasang Mata Dinaya yang Terpenjara
Dewa Made Dinaya sudah
menduga di mana ia akan berakhir. Di tempat ini dengan posisi seperti ini.
Inilah alasan mengapa
Dinaya dulu selalu menolak untuk meneruskan sekolahnya. Betapapun
ia menyukai ilmu yang serasa melambungkannya ke cakrawala dunia, ia tahu semua itu akan sia-sia belaka.
Ketika kedua orangtuanya memintanya untuk meneruskan kuliahnya, Dinaya menolak mentah-mentah anjuran itu.
Dinaya merasa tidak penting baginya untuk melanjutkan kuliah. Perkuliahan akan membuka pikirannya dan membuatnya mengembara ke tempat-tempat yang
jauh. Buat apa? Toh pada akhirnya ia akan kembali ke tempat di mana ia berasal.
Di sini, dengan posisi seperti ini.
Dinaya menyeka peluh yang membasahi pipinya.
Tubuhnya sudah terasa begitu lengket. Kedua kakinya pegal luar biasa. Mukanya
tentu saja terlihat sangat berantakan. Dinaya tidak ingat lagi berapa banyak pekerjaan yang sudah dikerjakannya sejak subuh
tadi. Begitu satu pekerjaan selesai, pekerjaan lainnya menunggu. Begitu seterusnya seolah tidak ada habisnya.
Dinaya belum sempat mendudukkan pantatnya barang sejenak pun sejak tadi pagi. Pekerjaan dapur dan tetek bengek rumah tangga ini seolah memutarnya seperti gasing yang tidak tahu kapan akan berhenti.
Suaminya, Gusti Nyoman
Ghana, tampaknya baru bangun. Dinaya mendengar suara gayung menciduk air di
kamar mandi. Ghana pasti sedang bersiap-siap untuk berangkat kerja. Sebentar
lagi, ia akan mengenakan seragam coklatnya dan berangkat ke Denpasar.
Gusti Nyoman seorang pegawai negeri. Pekerjaan yang selalu membuat suaminya itu bisa membusungkan dada dan menegakkan bahu. Sebaliknya bagi Dinaya, pekerjaan tidak lebih hanya kulit. Yang penting adalah bagaimana
orang itu menjalankan pekerjaannya.
Satu hal yang tidak dimengerti Dinaya adalah suaminya tidak pernah betul-betul mengajaknya bicara. Ghana memang sering berkata-kata, namun kata-kata itu
hanya membutuhkan pendengar, bukan lawan bicara. Ghana lebih sering
terlihat seperti bermonolog, berbicara dan kemudian memberikan komentar sendiri atas pembicaraannya. Di manakah posisi
Dinaya pada saat itu, mungkin ia hanya menjadi cermin yang memantulkan bayangan suaminya.
Ghana juga sering terlihat terlalu sibuk dengan kegemarannya sendiri. Ghana
betah seharian dengan permainan play station-nya dan tidak memedulikan apa pun. Secangkir kopi dan sepiring pisang goreng selalu menemaninya mengerjakan
kegemarannya itu. Apakah laki-laki ini betul-betul membutuhkan seorang istri?
Dinaya tidak ingat
kapan terakhir ia betul-betul bicara dengan suaminya. Apakah
Ghana mewakili kemiripan sifat yang dimiliki oleh sebagian besar orang di kampung mereka? Lebih suka menutup mulutnya rapat-rapat dan pelit mengucapkan kata-kata. Bukankah
bicara bisa memekarkan pikiranmu?
Ah sudahlah, tidak ada
gunanya ia mengeluh tentang laki-laki yang sudah dipilihnya itu. Laki-laki yang dipilihkan Biyang untuknya dan
Dinaya menerimanya ketika ia merasa putus asa untuk menemukan seorang kekasih pada saat batang usianya semakin tinggi. Pernikahan ini mungkin hanya menjadi tempat berlindung baginya karena ia takut disebut perawan tua. Dulu, Dinaya tidak pernah mencintai Ghana. Ternyata makin hari ia makin membenci laki-laki itu. Masih layakkah apa yang sedang dijalaninya ini disebut sebagai sebuah pernikahan?
Dinaya menyesal tidak pernah memberi ruang pada perasaannya sendiri. Seharusnya ia biarkan perasaan
itu memilih laki-laki
yang akan menjadi pendamping hidupnya. Perasaan cinta ternyata hanya tumbuh sekali dalam hidupnya. Cinta itu
untuk teman kuliahnya di Malang. Seorang laki-laki Jawa. Cinta itu terpaksa ia telan bulat-bulat ke dalam kerongkongan dan membiarkannya tersekap di ruang sempit di dalam ususnya.
Biyang dan Aji tidak
pernah bisa menerima laki-laki Jawa menjadi suami Dinaya. Mereka
tidak dapat menerima segala kerumitan yang mungkin terjadi bila ia menikahi orang yang begitu berbeda latar belakangnya. Ratusan pertanyaan pun bermunculan di benak mereka dan jawaban dari ratusan pertanyaan itu adalah tidak mungkin, tidak mungkin, dan tidak mungkin sebanyak seratus kali. Dinaya seolah dibenturkan dengan dinding yang
mahatebal.
Namun, di balik itu,
bagi Dinaya, kedua orangtuanya selalu memiliki sikap yang mendua. Mereka begitu terobsesi menambahkan huruf SH di belakang
namanya seperti anak kecil yang begitu menginginkan mainan kegemarannya.
Biyang dan Aji terus mendorongnya rajin belajar dan meraih gelar sarjana hukum. Waktu itu, Dinaya mengira kedua orangtuanya memang sungguh-sungguh berharap ia akan menjadi perempuan yang intelek. Kini ia tahu, apa
yang Biyang dan Aji lakukan tidak semata-mata demi gengsi bahwa anak-anak
mereka adalah orang yang berpendidikan. Mereka sendiri tidak siap menerima anak-anaknya yang berubah karena pendidikan yang
telah mereka pelajari.
Biyang dan Aji sangat menginginkan gelar itu di belakang nama Dinaya, namun mereka tidak ingin ia
lebih pintar dari yang mereka kenal dahulu. Dinaya yang masih bocah dan mengenakan seragam sekolah dasarnya. Pada saat itu Biyang dan Aji sering memarahinya karena belum bisa menulis dan membaca. Mereka selalu mengenang Dinaya sebagai anak mereka yang itu. Tidakkah mereka tahu bahwa
pengetahuannya sudah jauh melesat ke angkasa? Apakah gelar dapat dipisahkan dengan ilmu yang dimilikinya?
Tepat seperti dugaannya.
Dinaya hanya bisa pasrah ketika keluarganya menuntut ia membuang semua ilmu yang dimilikinya ke tempat sampah.
Kesarjanaan itu kata mereka hanya membuat Dinaya menjadi perempuan yang tinggi
hati. Ia direnggut dari tempat yang dicintainya dan dipaksa menempati ruang sempit yang ia
rasakan bagaikan penjara. Di sinilah segala kekuatannya dilucuti sehingga
segala bentuk pikiran yang pernah dimilikinya dipaksa hanya bisa meringkuk di
sudut.
Dinaya tahu bahwa
suatu saat pikiran itu akan sekarat dan tewas. Dan semua orang di sekelilingnya
malah bersorak dengan segala derita yang dialaminya. Seolah-olah Dinaya bukan
seorang anak manusia. Dinaya selalu ingin bertanya-tanya dalam hati mengapa
laki-laki selalu mendapat pembelaan yang berlebih-lebih?
”Suamimu memintamu untuk berhenti bekerja, Dinaya. Dia bilang begitu pada Biyang.”
”Kenapa dia tidak
bicara langsung pada tiang? Bukankah dia masih punya mulut.”
”Dia takut kamu
menjadi marah karena ia tahu kamu perempuan yang keras.”
”Apakah dia memang
seorang laki-laki?”
”Kenapa kamu mengatai-ngatai suamimu sendiri?”
”Suami pilihan Biyang
tepatnya.”
”Kenapa kamu masih
saja suka membangkang seperti dulu. Apa umur belum juga mendewasakanmu?”
”Menurut tiang Biyang-lah yang belum dewasa di umur Biyang yang
sekarang. Tiang amat mencintai pekerjaan tiang sebagai dosen.
Mengapa tiang harus berhenti? Bukankah tiang bisa membantunya secara ekonomi?”
”Suamimu merasa kau lebih mencintai pekerjaanmu daripada dirinya. Dia
cemburu pada pekerjaanmu.”
”Laki-laki kurang
kerjaan.”
”Belajarlah menghargai suamimu!”
”Bli Gusti yang tidak
pernah menghargaiku sebagai perempuan. Mengapa aku tidak boleh mengembarakan pikiranku? Apa yang dia inginkan dari aku?”
”Dia ingin kamu lebih
banyak di rumah untuk menemaninya, bukannya sibuk dengan urusanmu di kampus.
Lagi pula pekerjaan rumah jadi terbengkalai. Urusan mebanten saja
harus minta tolong orang lain. Bukankah seorang istri yang seharusnya mengerjakan semua itu?”
Dinaya hanya mendesah panjang. Ia sama sekali tidak setuju dengan kalimat terakhir Biyang. Sebuah keluarga yang harus mengerjakan semuanya. Sebuah keluarga terdiri dari istri dan suami. Mengapa
semua orang tidak pernah berubah? Apakah ketika seorang perempuan dilahirkan ke dunia ia telah terlahir sebagai manusia
atau hanya sebuah barang yang kebetulan bernyawa?
”Bagaimana kalau tiang
menolak?”
”Biyang dan seluruh
keluarga tidak akan menjadi keluargamu lagi. Biyang tidak mau anak Biyang
menjadi tinggi hati karena pendidikannya.”
”Bukankah Biyang
adalah keluarga tiang. Mengapa Biyang malah membela Bli Gusti?”
”Karena kamu sudah
menyimpang dari kewajibanmu sebagai istri.”
Dinaya meradang. Namun ditekannya kuat-kuat segala amarah jauh di dasar hatinya.
Bahkan untuk marah saja Dinaya tahu ia tidak memiliki tempat. Biyang yang dikenalnya sejak bocah tidak pernah berubah. Seorang ibu yang
terus-menerus mengkritik anak perempuannya. Dinaya selalu merasa menjadi anak yang penuh kesalahan di hadapan Biyang.
Sejak kecil Biyang
selalu mengata-ngatai Dinaya dengan kata-kata yang menghancurkan harga dirinya. Perempuan kok bangun siang. Makan kok belepotan
seperti babi. Itu badan apa gentong air. Mana ada sih laki-laki yang mau
melihat tampangmu. Sekali-kali ke salon dong biar tidak dikira babu. Di hadapan
Biyang, Dinaya merasa menjadi manusia yang paling
gagal.
Dinaya tahu ini bukan
kesalahan Biyang semata-mata. Barangkali seluruh cakrawala pikiran Biyang
dipenuhi oleh kepercayaan bahwa sumber kebahagiaan perempuan adalah apabila ia memuaskan kebutuhan laki-laki. Biyang tidak ingin putrinya gagal memenuhi kewajiban itu. Mungkin itulah satu-satunya yang dimengerti Biyang mengenai peranan perempuan. Karena Biyang juga pernah merasakan semua yang Dinaya rasakan.
Bukankah Biyang lahir
dan dibesarkan dengan luka batin yang sama di lubuk hatinya?
Sebagai perempuan ia selalu dipandang sebagai barang, sebagai obyek. Yang menjadi berharga sejauh mana ia bisa memuaskan laki-laki. Hanya saja
Biyang tidak pernah menyadarinya. Ia terus saja menuntut Dinaya untuk
mengamini nilai-nilai yang dipercaya oleh Biyang. Hanya saja bagi Dinaya, ia tidak
sudi mengamini nilai-nilai
itu. Sebagai manusia ia merasa berhak
diperlakukan sama dengan laki-laki.
”Baiklah tiang menuruti Biyang sekarang, tapi bukan karena tiang merasa Biyang benar. Tiang akan berhenti bekerja, tapi jangan
harap tiang akan menghormati Bli Gusti. Pernikahan ini memang masih ada,
tapi bagi tiang ini bukan pernikahan tiang. Tiang sudah mati dalam pernikahan
ini. Yang tinggal hanya raga tiang.”
Wajah Biyang terlihat memerah. Dengusan napasnya terdengar sangat keras. Dinaya
hanya memandangnya dengan mata tenang. Dinaya tahu hanya
ketenangannya yang membuat ia menjadi pemenang.
Hari-hari berikutnya
Dinaya memusatkan perhatiannya pada setumpuk pekerjaan rumah
tangga yang harus dikerjakannya. Dinaya bangun subuh dan mulai menyiapkan masakan di dapur dan menyapu halaman rumah yang penuh dengan
dedaunan layu. Tepat jam tujuh pagi ia menyiapkan kopi untuk suaminya.
Ghana terlihat menyeruput kopinya dengan begitu nikmat. Tidak
pernah ada senyum atau sapa yang diperlihatkan Dinaya untuk
suaminya, namun Ghana kelihatannya tenang-tenang saja. Dia sibuk mengoceh
mengenai pekerjaannya sendiri. Dinaya semakin sadar, bagi suaminya
ia bukanlah seorang istri, namun tak lebih dari perhiasan rumahnya saja.
Perempuan yang akan mengabulkan seluruh mimpi-mimpinya akan kesempurnaan dan
kekuasaan sebagai laki-laki.
Dinaya selalu mengingat dirinya dengan posisi yang sama. Ia dengan mata kosong memandang ke luar dari jendela dapur. Ia merasa terkurung
dalam penjara yang disediakan untuk perempuan. Seolah dapur menjadi
satu-satunya takdir bagi perempuan sekalipun memasak bukan kegemarannya.
Bukankah di luar sana ada begitu banyak macam warna-warni dunia yang bisa
dicoba oleh perempuan.
Namun ia dipaksa
berada di tempat yang tidak diinginkannya. Dan ia pun harus menyediakan waktunya dari subuh hingga malam hari untuk mengosongkan seluruh energi yang dimilikinya. Semua pekerjaan yang tiada habisnya itu akan menghampakan dia sehingga tidak
akan pernah ada ruang untuk berpikir. Mungkinkah dunia begitu takut pada pikiran
perempuan? Betulkah pikiran perempuan akan menjelma bom waktu yang akan meledakkan dunia.
No
|
Afiks
|
Kata
|
Makna
|
Keterangan
|
|
1
|
Prefiks
|
Berakhir
|
Telah selesai
|
Kalimat pertama, paragraf pertama
|
|
2
|
Simulfiks
|
meneruskan
|
Ingin melanjutkan
|
Kalimat pertama, paragraf kedua
|
|
3
|
Prefiks
|
menyukai
|
Suka
|
Kalimat kedua, paragraf kedua
|
|
4
|
Simulfiks
|
Melambungkan
|
Melayang-layang
|
Kalimat kedua, paragraf kedua
|
|
5
|
Prefiks
|
Menolak
|
Tidak terima
|
Kalimat keempat, paragraf kedua
|
|
6
|
Prefiks
|
Merasa
|
Sedang merasakan
|
Kalimat pertama, paragraf ketiga
|
|
7
|
Simulfiks
|
Melanjutkan
|
Sedang berlangsung
|
Kalimat pertama, paragraf ketiga
|
|
8
|
Simulfiks
|
Perkuliahan
|
Kuliah
|
Kalimat pertama, paragraf ketiga
|
|
9
|
Simulfiks
|
Membuka
|
Terbuka
|
Kalimat kedua, paragraf ketiga
|
|
10
|
Simulfiks
|
Membuat
|
Melakukan
|
Kalimat kedua, paragraf ketiga
|
|
11
|
Simulfiks
|
Membasahi
|
Mengandung air
|
Kalimat pertama, paragraf keempat
|
|
12
|
Konfiks
|
Pekerjaan
|
Melakukan sesuatu
|
Kalimat ketiga , paragraf keempat
|
|
13
|
Konfiks
|
Dikerjakaannya
|
Melakukan sesuatu
|
Kalimat keempat, paragraf keempat
|
|
14
|
Simulfiks
|
Menunggu
|
Mengharapkan sesuatu
|
Kalimat keempat, paragraf keempat
|
|
15
|
Prefiks
|
Seterusnya
|
Berlangsung
|
Kalimat keempat, paragraf keempat
|
|
16
|
Prefiks
|
Seolah
|
Perbuatan
|
Kalimat keempat, paragraf keempat
|
|
17
|
Simulfiks
|
Mendudukan
|
Meletakkan tubuh
|
Kalimat keempat, paragraf keempat
|
|
18
|
Simulfiks
|
Memutarnya
|
Berkeliling-keliling
|
Kalimat keempat, paragraf keempat
|
|
19
|
Simulfiks
|
Menegakkan
|
Sigap
|
Kalimat kesatu, paragraf keenam
|
|
20
|
Prefiks
|
Sebaliknya
|
Sisi
|
Kalimat kedua, paragraf keenam
|
|
21
|
Simulfiks
|
Menjalankan
|
Tempat untu berlintas
|
Kalimat keempat, paragraf keenam
|
|
22
|
Konfiks
|
Dimengerti
|
Mamahami sesutu
|
Kalimat pertama, paragraf ketujuh
|
|
23
|
Prefiks
|
Mengajaknya
|
Meminta/menyuruh
|
Kalimat pertama, paragraf ketujuh
|
|
24
|
Prefiks
|
Pendengar
|
pendapat
|
Kalimat kedua, paragraf ketujuh
|
|
25
|
Prefiks
|
Bermonolog
|
Pembicaraan dilakuakn dengan diri sendiri
|
Kalimat ketiga, paragraf ketujuh
|
|
26
|
Prefiks
|
Berbicara
|
Perundingan
|
Kalimat ketiga, paragrraf ketujuh
|
|
27
|
Simulfiks
|
Memberikan
|
Menyampaikan
|
Kalimat ketiga, paragraf ketujuh
|
|
28
|
Prefiks
|
Pembicaraannya
|
Perundingan
|
Kalimat ketiga, paragraf ketujuh
|
|
29
|
Simufiks
|
Menjadi
|
Langsung berlaku
|
Kalimat keempat, paragraf ketujuh
|
|
30
|
Prefiks
|
Terlihat
|
Memandang
|
Kalimat pertama, paragraf kedelapan
|
|
31
|
Prefiks
|
Terlalu
|
Berjalan lewat
|
Kalimat pertama, paragraf kedelapan
|
|
32
|
Prefiks
|
Seharian
|
Waktu
|
Kalimat kedua, paragraf kedelapan
|
|
33
|
Prefiks
|
Permainan
|
Bersenang-senang melakukan perbuatan
|
Kalimat kedua, paragraf kedelapan
|
|
34
|
Simulfiks
|
Memedulikan
|
Mengindahkan
|
Kalimat kedua, paragraf kedelapan
|
|
35
|
Prefiks
|
Secangkir
|
Mangkuk kecil yang bertelinga
|
Kalimat ketiga, paragraf kedelapan
|
|
36
|
Prefiks
|
Sepiring
|
Wadah
|
Kalimat ketiga, paragraf kedelapan
|
|
37
|
Simulfiks
|
Membutuhkan
|
Memerlukan
|
Kalimat keempat, paragraf kedelapan
|
|
38
|
Prefiks
|
Seorang
|
Manusia
|
Kalimat keempat, paragraf kedelapan
|
|
39
|
Sufiks
|
Mewakili
|
Orang yang menggantikan
|
Kalimat ketujuh, paragraf kedelapan
|
|
40
|
Sufiks
|
Diwakili
|
Orang yang menggantikan
|
Kalimat ketujuh, paragraf kedelapan
|
|
41
|
Prefiks
|
Sebagian
|
Persamaan/perbandingan
|
Kalimat ketujuh, paragraf kedelaan
|
|
42
|
Simulfiks
|
Mengucapkan
|
Kata
|
Kalimat ketujuh, paagraf kedelapan
|
43
|
Simulfiks
|
Memekarkan
|
Berkembang menjadi terbuka
|
Kalimat kedelapan, paragraf kedelapan
|
44
|
Simulfiks
|
Mengeluh
|
Ungkapan perasaan susah
|
Kalimat pertama, paragraf kesembilan
|
45
|
Konfiks
|
Dipilihnya
|
Mempertimbangkan
|
Kaliamat pertama, paragraf kesembilan
|
46
|
Konfiks
|
Dipilihkan
|
Mempertimbangkan
|
Kalimat kedua, paragraf kesembilan
|
47
|
Prefiks
|
Menerima
|
Mendapat
|
Kalimat kedua, paragraf kesembilan
|
48
|
Prefiks
|
Merasa
|
Tanggapan indra rangsangan saraf
|
Kalimat kedua, paragraf kesembilan
|
49
|
Prefiks
|
Menemukan
|
Jumpa
|
Kalimat kedua, paragraf kesembilan
|
50
|
Prefiks
|
Semakin
|
Bertambah
|
Kalimat kedua, paragraf kesembilan
|
51
|
Prefiks
|
Pernikahan
|
Perkawinan yang dilakukan sesuai ketentuan umum
|
Kalimat ketiga, paragraf kesembilan
|
52
|
Prefiks
|
Berlindung
|
Tidak terlihat
|
Kalimat ketiga, paragraf kesembilan
|
53
|
Konfiks
|
Disebut
|
Memberi/ menyatakan sesuatu
|
Kalimat ketiga, paragraf kesembilan
|
54
|
Sufiks
|
Mencintai
|
Suka sekali
|
Kalimat keempat, paragraf kesembilan
|
55
|
Prefiks
|
Ternyata
|
Jelas sekali
|
Kalimat kelima, paragraf kesembilan
|
56
|
Simulfiks
|
Membenci
|
Sanngat tidak suka
|
Kalimat kelima, paragaf kesembilan
|
57
|
Konfiks
|
Dijalaninya
|
Tempat berlintas
|
Kalimat kelima, paragraf kesembilan
|
58
|
Prefiks
|
Pernikahan
|
Perkawinan yang dilakukan secara hukum
|
Kalimat kelima, paragraf kesembilan
|
59
|
Simulfiks
|
Menyesal
|
Peraaan tidak senang
|
Kalimat pertama, paragraf kesepuluh
|
60
|
Simulfiks
|
Memberi
|
Menjadikan supaya tahu
|
Kalimat pertama, paragraf kesepuluh
|
61
|
Prefiks
|
Perasaannya
|
Tanggapan indra saraf
|
Kalimat pertama, paragraf kesepuluh
|
62
|
Prefiks
|
Terpaksa
|
Mengerjakan sesutru diharuskan walaupun tidak mau
|
Kalimat keempat, paragraf kesepuluh
|
63
|
Prefiks
|
Tersekap
|
Menaruh ditempat tertutup
|
Kalimat keempat, paragraf kesepuluh
|
64
|
Prefiks
|
Terjadi
|
Langsung berlaku
|
Kalimat kedua, paragraf kesebelas
|
65
|
Sufiks
|
Menikahi
|
Perkawinan yang dilakukan secara hukum
|
Kalimat kedua, paragraf kesebelas
|
66
|
Prefiks
|
Berbeda
|
Tidak sama
|
Kalimat kedua, paragraf kesebelas
|
67
|
Prefiks
|
Pertanyaan
|
Telihat
|
Kalimat ketiga, paragraf kesebelas
|
68
|
Prefiks
|
Sebanyak
|
Besar jumlahnya
|
Kalimat ketiga paragraf kesebelas
|
69
|
Konfiks
|
Dibenturkan
|
Luka
|
Kalimat keempat paragraf kesebelas
|
70
|
Prefiks
|
Mendua
|
Sesudah ppertama
|
Kalimat pertama, paragraf kesebelas
|
71
|
Prefiks
|
Terobsesi
|
Pikiran
|
Kalimat kedua, paragraf kesebelas
|
72
|
Prefiks
|
Menambahkan
|
Dibubuhkan
|
Kalimat kedua, paragraf kesebelas
|
73
|
Prefiks
|
Menginginkan
|
Mau
|
Kalimat kedua, paragraf kesebelas
|
74
|
Prefiks
|
Mendorongnya
|
Menolak bagian belakang
|
Kalimat ketiga, paragraf kesebelas
|
75
|
Prefiks
|
Meraih
|
Capai
|
Kalimat ketiga, paragraf kesebelas
|
76
|
Prefiks
|
Mengira
|
Pendapat
|
Kalimat keempat, paragraf kesebelas
|
77
|
Prefiks
|
Berharap
|
Mohon
|
Kalimat keempat, paragraf kesebelas
|
78
|
Prefiks
|
Mengenang
|
Ingat
|
Kalimat keempat , paragraf kesebelas
|
79
|
Konfiks
|
Dipisahkan
|
Cerai
|
Kalimat kelima, paragraf kesebelas
|
80
|
Simulfiks
|
Menuntut
|
Meminta
|
Kalimat kedua, paragraf keduabelas
|
81
|
Simulfiks
|
Membuang
|
Lepaskan keluar
|
Kalimat kedua, paragraf keduabelas
|
82
|
Konfiks
|
Direnggut
|
Ambil
|
Kalimat ketiga, paragraf keduabelas
|
83
|
Konfiks
|
Dicintainya
|
Perasaan
|
Kalimat ketiga, paragraf keduabelas
|
84
|
Konfiks
|
Dipaksa
|
Mengerjakan sesutu
|
Kalimat ketiga, paragraf keduabelas
|
85
|
Sufiks
|
Menempati
|
Sesutu yang dipakai untuk menaruh
|
Kalimat ketiga, paragraf keduabelas
|
86
|
Simulfiks
|
Mendapat
|
Raih
|
Kalimat keempat, paragraf ketigabelas
|
87
|
Simulfiks
|
Memintamu
|
Mohon
|
Kalimat pertama, paragraf ke empatbelas
|
88
|
Simulfiks
|
Mendewasakanmu
|
Sampai umur
|
Kalimat kelima, paragraf keempatbelas
|
89
|
Sufiks
|
Mengatai
|
Unsur bahasa
|
Kalimat ketujuh, paragraf keempatbelas
|
90
|
Simulfiks
|
Menurut
|
Bersama
di dalam
|
Kalimat kedelapan, paragraf keempatbelas
|
|
91
|
Prefiks
|
Berhenti
|
Keadaan tanpa gerak
|
Kalimat kesembilan, paragraf keempatbelas
|
|
92
|
Simulfiks
|
Membantunya
|
Tolong
|
Kalimat kesembilan, paragraf keempatbelas
|
|
93
|
Prefiks
|
Menghargai
|
Nilai
|
Kalimat keduabelas, paragraf keempatbelas
|
|
94
|
Simulfiks
|
Menemaninya
|
Kawan
|
Kalimat ke tigabelas, paragraf keempatbelas
|
|
95
|
Prefiks
|
Mengerjakan
|
Melakukan sesutu
|
Kalimat kesatu, paragraf kelimabelas
|
|
96
|
Simulfiks
|
Mendesah
|
Bunyi
|
Kalimat ke dua, paragraf ke limabelas
|
|
97
|
Prefiks
|
Terakhir
|
Belakang
|
Kalimat keketiga, paragraf kelimabelas
|
|
98
|
Konfiks
|
Dilahirkan
|
Keluar
|
Kalimat keempat, paragraf kelimabelas
|
|
99
|
Prefiks
|
Terlahir
|
Keluar
|
Kalimat keempat, paragraf kelimabelas
|
|
100
|
Prefiks
|
Bernyawa
|
Hidup
|
Kalimat keempat, paragraf kelimabelas
|
|
101
|
Simulfiks
|
Menolak
|
Tidak terima
|
Kalimat kesatu, paragraf keenambelas
|
|
102
|
Simuklfiks
|
Mengapa
|
Kata tanya
|
Kalimat ke 1 paragraf keenambelas
|
|
103
|
Simulfiks
|
Membela
|
Menjaga
|
Kalimat ketiga, paragraf keenambelas
|
|
104
|
Simulfiks
|
Meradang
|
Marah sekali
|
Kalimat ketiga , paragraf ketujuh belas
|
|
105
|
Konfiks
|
Dikenalnya
|
Mempunyai rasa
|
Kalimat ketiga, paragraf ketujuhbelas
|
|
106
|
Prefiks
|
Berubah
|
Menjadi lain
|
Kalimat ke kedua, paragraf kedelapan belas
|
|
107
|
Prefiks
|
Mengkritik
|
Tanggapan
|
Kalimat ketiga , paragraf kedelapan belas
|
|
108
|
Prefiks
|
Menghancurkan
|
Remuk
|
Kalimat pertama, paragraf kedelapan belas
|
|
109
|
Prefiks
|
Merasa
|
Perasaan indra saraf
|
Kalimat kelima, paragraf kedelapanbelas
|
|
110
|
Konfiks
|
Dibesarkan
|
Lebih dari ukuran sedang
|
Kalimat pertama, paragraf keembilanbelas
|
|
111
|
Konfiks
|
Dipandang
|
Penglihatan
|
Kalimat pertama, paragraf kesembilanbelas
|
|
112
|
Prefiks
|
Menjadi
|
Langsung berlaku
|
Kalimat pertama, paragraf kesembilanbelas
|
|
113
|
Prefiks
|
Berharga
|
Nilai
|
Kalimat kedua paragraf kesembilan belas
|
|
114
|
Prefiks
|
Sejauh
|
Panjang antara
|
Paragraf kedua, paragraf kesembilan belas
|
|
115
|
Simulfiks
|
Memuaskan
|
Merasa senang
|
kalimat kedua, paragraf kesembilan belas
|
|
116
|
Prefiks
|
Menyadarinya
|
Merasa tahu
|
Kalimat ketiga, paragraf kesembilan belas
|
|
117
|
Prefiks
|
Sejauh
|
Panjang antaranya
|
Kalimat ke kedua, paragraf kesembilanbelas
|
|
118
|
Konfiks
|
Dipercaya
|
Mengakui
|
Kalimat ketiga, paragraf kesembilanbelas
|
|
119
|
Konfiks
|
Diperlukan
|
Membutuhkan
|
Kalimat keempat, paragraf kesembilan belas
|
|
120
|
Prefiks
|
Berhak
|
Kekuasaan
|
Kalimat keempat, paragraf kesembilan belas
|
|
121
|
Prefiks
|
Memerah
|
Warna
|
Kalimat kesatu, paragraf kedua puluh satu
|
|
122
|
Prefiks
|
Terdengar
|
Indra saraf
|
Kaliamat pertama, paragraf kedua puluh satu
|
|
123
|
Prefiks
|
Memandangnya
|
Penglihatan
|
Kalimat kedua, paragraf kedua puluh satu
|
|
124
|
Prefiks
|
Pemenang
|
Mengalahkan musuh
|
Kalimat kalimat ketiga, paragraf kedua satu
|
|
125
|
Simulfiks
|
Menyiapkan
|
Sudah disediakan
|
Kalimat pertama, paragraf kedua puluh dua
|
|
126
|
Prefiks
|
Mengingat
|
Tidak lupa
|
Kalimat pertama, paragraf kedua puluh satu
|
|
127
|
Konfiks
|
Disediakan
|
Siap
|
Kalimat pertama, paragraf kedua puluh tiga
|
|
128
|
Prefiks
|
Mengosongkan
|
Tidak berisi
|
Kalimat ke dua, paragraf ke dua puluh empat
|
|
129
|
Prefiks
|
Berpikir
|
Akal budi/ ingatan
|
Kalimat kedua, paragraf kedua puluh empat
|
|
130
|
prefiks
|
Meledakkan
|
Pecah mengeluarkan bunyi sangat keras
|
Kalimat keempat, paragraf kedua puluh empat
|
|